Sabtu, 09 Januari 2010

Pledoi Puisi, Memori Sunyi

Oleh Abdul Aziz Rasjid

bukan, bukan ciuman
yang tersisa di tubuhmu
tapi puisi paling sunyi


Demikian bunyi lirik dari puisi Teguh Trianton yang berjudul “Pledoi Puisi”, terkumpul dalam Seri Dokumentasi Sastra Antologi Puisi Pendhapa 6 bertajuk Pledoi Puisi (diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah. 2009).

Saya mengasumsikan, kutipan lirik di atas adalah inti dari beberapa tema puisi yang terhimpun di Pledoi Puisi, khususnya puisi yang ditulis oleh beberapa penyair dari wilayah eks Karesidenan Banyumas yang disebut-sebut oleh Haryono Soekiran (kurator untuk antologi ini) sebagai penyair terkini Banyumas


Pada mulanya adalah sunyi
Menikmati Pledoi Puisi, saya seakan diajak untuk menghikmati sunyi. Sunyi yang dihadirkan oleh penyair memang nyaris tak seragam, terkadang menjadi pangkal terkadang pula ujung dari sebuah kejadian: Entah itu berupa perpisahan, pertemuan atau ketidakpastian. Masing-masing sunyi memiliki asal usul tersendiri: Dari alam, hati, maupun puisi.

Seperti puisi pendek Teguh Trianton misalnya, “Meditasi Tepi Laut”, sunyi timbul di antara hingar-bingar pantai dan debur ombak. Menjadi ujung dari sebuah narasi tentang sepi.:
“di kelam hari/ di tepi laut/ aku tak menemukan apapun/ selain ombak pecah/ yang gaduh/ membuatku/ merasa / paling/ sepi.”

Lalu, apakah puisi dihadirkan guna memecah sunyi? Dari membaca puisi dalam antologi Pledoi Puisi, saya tahu bahwa terkadang puisi tidak ditujukan serupa itu. Sebab, puisi pun direaksi oleh penyair sebagai sunyi. Hal itu, nampak jelas dalam bait-bait berikut:

Teguh Trianton, “Pledoi Puisi”: “bukan, bukan kecupan/ yang selalu tertinggal di dada usai bercinta/ lantaran kau kian berjelaga setelah luka padam//…bukan, bukan ciuman/ yang tersisa di tubuhmu/ tapi puisi paling sunyi.”

Dalam puisi itu, meminjam istilah Sigmund Freud, puisi menjadi displacement: objek pemindahan dari sebuah energi yang sebenarnya ingin diarahkan oleh penyair pada suatu objek asal. Tetapi, objek asal tak mudah untuk dipahami sehingga penyair memerlukan puisi sebagai pengganti untuk pembelaan atas kegagalan. Puisi, lalu meruang bersama sunyi dan seakan dipercaya dapat menjelaskan sesuatu yang tak terungkapkan. Hal serupa, juga nampak dalam bait-bait puisi berikut:

Yosi M Giri, “Semesta Kata-kata”: “Kesederhanaan kata mengalir dari tubuhmu/ menjadi banjir bagi wajahmu di cermin/ dan puisi selalu lahir dari sepi yang menjelaskan kentongan/ degub jantung dan kau pun dengar, bukan?”

Hal yang sedikit berbeda, tampak pada puisi pendek Restu Kurniawan, “Ziarah Subuh”, dimana puisi di antara sunyi tak lagi difungsikan sebagai media pemindah yang dapat membantu pertahanan ego penyair untuk menghindari kecemasan. Puisi mengalami destruksi sehingga tak lagi dicitrakan sebagai keindahan.

“aku ingin menemukanmu/ sebelum engkau terlebih dahulu menemukanku/ di sebelah sajadah sebelum subuh/ berbentuk bangkai puisi.”

Namun, walau puisi telah berbentuk bangkai, ia tak ingin dihindari. Sebab puisi diyakini sebagai sebuah hal yang memuat penjelasan, sehingga aku lirik pun ingin menemukannya dan sunyi sebelum subuh dirasa tepat untuk pencarian itu. Sunyi pun menjadi semacam pintu untuk sebuah pertemuan. Pada bait-bait puisi berikut, hal serupa juga dapat kita rasakan:

Isni Ekowati, “Aku Malu”: Aku malu/ Titipkan sesal ini pada alam alam yang ada/ Ruang hampa telah lama membatu/ Menjerumus pada duka-duka.

Sunyi mempertemukan aku lirik pada rasa bersalah di suatu masa. Sehingga sunyi menimbulkan fiksasi: keterpakuan pada masa yang telah lewat yang bisa menimbulkan kecemasan, sehingga aku lirik berkata “adakah jiwa sanggup menahan pedih” dan aku lirik hanya dapat kembali menjadi semacam bocah kanak “bersembunyi di balik resah, tiada berhenti berkaca-kaca”.

Dalam Pledoi Puisi, sunyi adalah memori, sebuah tanggapan awal yang berkelindan bersama keberbagaian perasaan dimana puisi lalu dijadikan semacam pembelaan untuk mengaburkan kecemasan dan kegagalan. Dalam Pledoi Puisi, memori tentang sunyi mencapai puncaknya pada puisi Arif Hidayat “Menyukai Keheningan”, sebab sunyi menjadi pangkal sekaligus ujung, hamburan nuansa eros (daya untuk hidup) sekaligus thanatos (daya kematian) menjadikan sunyi terdampar di posisi yang “antara”.

…menyukai kesunyian/ hanya pesan yang kerap tumbuh/ di antara kulit memuai/ sampai akhirnya/ yang ada menjadi “ada”/ dan buah merambah ke tanah// tapi tidak, burung-burung/ seakan angan yang terus terbang/ melepaskan benang-benang/ ke tengah gumpalan awan/ seketika dan mendadak mendung// sementara keheningan masih berdiam/ berada di tepi jendela/ mengenang, merenung dan menghitung/ hari yang entah berakhir.

Daya ucap & daya pikat
Pada mulanya adalah sunyi, itulah sesuatu yang diujarkan oleh beberapa penyair dalam antologi Pledoi Puisi. Tapi, membicarakan penyair dan puisi, tentu pula membicarakan bagaimana sesuatu itu diujarkan: Perambahan pengucapan, pemanfaatan kebebasan untuk menghasilkan daya pikat.

Apa yang saya maksud sebagai daya pikat adalah metaforarisasi: Mekanisme pembubuhan sejumlah fungsi, makna, dan pesan pada sebuah materi. Dimana materi itu, dieksplorasi oleh penyair untuk dialihkan fungsinya. Dan yang saya anggap paling berhasil melakukan itu, adalah puisi berikut:

Arif Hidayat, “Aku Pohon Purba”: …kini aku tak punya bau tubuhmu/ tak punya kata-kata apalagi puisi untukmu/ hanya lumut-lumut keramat/ menghantui tidur panjangku/ dan seluruh bangunan kota akan melupakanku/…dalam kulitku/ layaknya pestisida yang merong-rong usiaku/ karena memang aku pohon purba yang buta.

Pada puisi itu, secara pribadi saya menemukan kejutan yang menyentak yang sangup menggedor pikiran saya untuk memasuki bentangan ruang tafsir agar saya memulai lagi interpretasi tentang sunyi dalam puisi. “Lumut-lumut keramat”, “kulitku layaknya pestisida”, “pohon purba yang buta” adalah perambahan pengucapan yang saya rasa unik, sebab fungsi asal materi dibubuhi fungsi baru sehingga penyair menjadi semacam pemancar yang mengirim pesan segar.

“Penyair Banyumas terkini”
Demikianlah pembacaan sederhana saya atas antologi Pledoi Puisi yang menghimpun beberapa karya penyair dari eks Karisidenan Banyumas. Sebagai catatan tambahan: Selain para penyair yang terhimpun dalam antologi Pledoi Puisi, tentu masih banyak penyair dari Banyumas yang karyanya patut untuk diamati.

Sebab, mereka mendapatkan publikasi yang cukup besar di berbagai media massa, terbitan alternatif maupun antologi puisi, semisal: W Choerul Cahyadi, Sigit Emwe, Rahmi Isriana, IH. Antassalam, Ryan Rachman, Heru Kurniawan, Alfiyan Harfi, Hizi Firmansyah dan Abdulloh Amir.

Suatu hari nanti, puisi sendiri yang akan membuktikan identitas kepenyairan mereka. Sebab pada akhirnya, puisi yang akan berbicara bagaimana sesungguhnya kualitas kepenyairan mereka, sekaligus menyeleksi dimana mereka harus ditempatkan dalam sejarah sastra suatu bangsa.


Abdul Aziz Rasjid
Peneliti Beranda Budaya
Tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah

Pernah dimuat dalam Buletin Sastra Littera, -Taman Budaya Jawa Tengah– Edisi Mei-Juni 2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar