Rabu, 04 November 2009

Ihwal Ekranisasi Ronggeng Dukuh Paruk

Oleh Teguh Trianton

Tulisan Yosi Muhaemin Giri (YMG) berjudul ‘Idealisme Tohari di Ambang Cinta dan Benci’ pada Forum (Kompas, 14/04/2009) sangat menarik. Pada paparannya YMG dengan begitu banal melancarkan kritik pada pribadi Ahmad Tohari (AHT) yang dianggap sudah tidak idealis lagi


Dalam penilaian YMG; ekranisasi novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) telah menciderai idealisme. Selama ini AHT dikenal sebagai sosok sastrawan dan budayawan yang menentang habis-habisan tayangan-tayangan sinetron di televisi, sehingga ekranisasi dianggap sebagai titik balik lunturnya idealisme itu.

Lebih jauh, YMG menilai bahwa yang dilakukan AHT merupakan langkah mundur. Ironis, inilah ungkapan yang dipakai YMG untuk menyimpulkan sekaligus menstigma watak pribadi AHT.

Namun sayangnya, dasar pemikiran dan argumentasi yang dibangun YMG dalam tulisannya ternyata sangat lemah. Setidaknya ada tiga kelemahan argemntasi dalam tulisan teresbut.

Pertama, argumentasi yang mengatakan bahwa AHT tergiur nominal uang sehingga mau ‘menjual’ lagi RDP. Ini sulit diterima. Lantaran kita tidak pernah tahu berapa nilai nominal dari transaksi tersebut.

Kedua, ekranisasi dipandang sebagai bentuk kegagalan publikasi RDP versi cetak. Ini jelas keliru. Bukankah novel RDP telah mengalami berkali-kali cetak ulang. RDP juga telah diterjemahkan dalam lima bahasa asing dan mendapat resepsi yang luar biasa.

Saya sepakat jika disebut bahwa RDP dan AHT tak populer di kalangan pelajar SMA di Banyumas. Mereka lebih mengenal sosok Chairil Anwar, Rendra, atau Amir Hamzah dan karyanya. Tetapi perlu diingat, ‘perkenalan’ pelajar dengan sastrawan tadi adalah perkenalan kebetulan melalui modul atau buku ajar di sekolah.

Inilah fakta yang dimunculkan YMG. Pelajar kurang mengenal RDP karena jarang disebut dalam modul Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebuah landasan berpikir yang sangat lemah. Sebab permasalahan yang sebenarnya adalah rendanya budaya literasi (baca-tulis) di kalangan siswa di Banyumas atau bahkan Indonesia.

Ketiga, hujatan YMG bahwa idealisme –menentang tayangan TV- yang telah lenyap dari AHT. Menurut saya, hujatan ini juga lemah. YMG tidak sadar bahwa banyak hal yang berbeda antara tayangan sinetron di televisi dengan film layar lebar.

Perbendaan paling kentara bisa dilihat dari segi materi atau isi. Kemudian proses pembuatan, termasuk ideologi yang mengalir dalam dua jenis tanyangan itu. Selain minim intelektualitas, sinetron juga hanya menawarkan hedonisme, diproduksi atas pesanan dengan pola kejar tayang. Tengoklah, apakah ada sinetron yang mengangkat kearifan lokal atau berisi nilai moral.

Hedonisme. Ini memang sempat terjadi pada beberapa film layar lebar terkini yang menawarkan postur tubuh, cerita dan adegan yang menyerempet seks. Atau bahkan cenderung vulgar. Namun ini tidak akan terjadi pada ekranisasi RDP.

Terlalu dini jika mengatakan bahwa ekranisasi RDP tak ubahnya dengan sinetron. Ini kesimpulan saya atas tesis YMG. Apalagi kita belum tahu bagaimana hasil ekranisasi jilid dua itu.

Filmisasai RDP jilid I berjudul ‘Darah dan Mahkota Ronggeng’ garapan sutradara Yazman Yazid memang dianggap gagal. Tetapi ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menilai sebuah hasil dari proses yang belum selesai. Sampai di sini saya melihat AHT masih berdiri pada orbitnya sebagai sastrawan yang menentang tayang-tayangan televisi yang tidak berkualitas.


Hanya strategi
Di luar intervensi kepentingan modal, saya melihat ekranisasi RDP ini merupakan sebuah strategi. Strategi menghadapi perubahan tradisi dan peradaban yang mempengaruhi pola komunikasi dalam masyarakat.

Secara umum perkembangan peradaban ditandai dengan tiga perubahan penggunaan alat dan pola komunikasi. Yaitu dari tradisi lisan (oraliti), tulisan (literasi), lalu audio-visual. Yang paling mutakhir adalah berkembangnya model komuniaksi virtual melalui dunia cyber.

Nah, ekranisasi RDP sesungguhnya merupakan strategi, bagaimana menjembati kegagapan budaya masyarakat bertradisi lisan yang tiba-tiba harus meloncat menjadi masyarakat bertradisi visual bahkan virtual. Pada kasus RPD, saya melihat bahwa AHT tengah mencoba menarik masyarakat untuk kembali pada tradisi literasi yang sempat terlewati.

Alasannya sederhana. Dalam beberapa kasus ekranisasi banyak menimbulkan kekecewaan pada penonton dan kritisi sastra. Ini terjadi akibat penciutan plot dan degresi cerita di luar novel. Tengoklah kasus ekranisasi ‘Ayat-Ayat Cinta’ (AAC), Laskar Pelangi (LP) dan lain-lain.

Lalu apa hubungannya dengan tradisi literasi? Saya melihat, tatkala banyak kritisi yang gusar akibat ketidakpuasan atas ekranisasi, ini akan menimbulkan rasa ingin tahu para penonton awam. Dengan sendirinya mereka akan mencoba mencari pembandingnya yaitu naskah asli pra-adaptasi.

Ini terjadi pada AAC dan LP. Fenomena cetak ulang kedua novel ini terjadi setelah ekranisasi. Novel AAC telah ada sejak tahun 2004, kemudian baru ramai dibicarakan dan populer pada tahun 2008, setelah ekranisasi. Pada awal terbit, AAC tak banyak mendapat respon dari kritikus sastra. Respon banyak muncul pasca ekranisasi.

Sesungguhnya ini berbeda dengan RDP yang sejak awal kemunculannya telah mendapat resepsi dari pembaca dan kritikus. Artinya, dalam kasus RDP, sesungguhnya bukan perkara nominal nilai kontrak, atau hanya sekedar bagaimana mempopulerkan AHT sehingga berterima di negeri sendiri (Banyumas).

Ekranisasi RDP adalah strategi menarik masyarakat (pelajar) yang terlanjur mencintai tayangan –hantu- visual di TV agar kembali dulu pada fase literasi. Ini ditempuh dengan memanfaatkan kekurangan ekranisasi. Dengan ketidakpuasan penonton atas filmisasi RDP, akan memotivasi mereka membaca naskah asli.

Nah, proses membaca inilah yang pada giliranya akan membentuk masyarakat literasi. Terlihat naïf memang. Namun ini jauh lebih baik dari pada tidak sama sekali. Lantaran tidak ada alat perjuangan modern yang given atau terberi dengan cuma-cuma. Ekranisasi RPD tetap mengandung idealisme.

Radar Banyumas, Minggu 27 Juli 2009

Teguh Trianton, penikmat seni,
aktif di Beranda Budaya (Banyumas).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar